Dia menceritakan perjalanan awal pendirian pesantren. Sang pewakif tanah bernama Martono bersama sang istri Agnes yang berlatar belakang agama Katolik. Kisah ini berpusat pada putra bungsu mereka, Rio yang waktu itu sakit dan dirawat di RS Borromeus. Menjelang wafat, Rio menyampaikan pesan spiritual yang mengguncang kedua orang tuanya, “Hidup di dunia ini hanya 1,5 cm. Ayah dan Ibu harus lebih baik dari Rio. Rio tunggu di surga.”
Tepat ketika azan Maghrib berkumandang (suara yang tidak terdengar di dalam ruang rawat), Rio memegang tangan kedua orangtuanya, meminta untuk disyahadatkan kembali, dan menghembuskan napas terakhirnya setelah mengulang pesan bahwa “Hidup di dunia ini hanya 1,5 Cm” untuk ketiga kalinya.
Dari Kebencian Menuju Sujud di Lantai Tiga
Kematian Rio sempat memicu krisis iman pada diri Agnes. Dia kecewa pada keyakinan lamanya hingga sempat membaca semua kitab agama di Indonesia, kecuali Al-Qur’an karena kebencian yang mendalam terhadap Islam.
