KEMAJUAN teknologi digital telah mengubah wajah industri keuangan global, termasuk Indonesia. Salah satu gebrakan terbesar adalah kemunculan financial technology (fintech)—layanan keuangan berbasis digital yang menawarkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi. Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kehadiran layanan keuangan yang juga mematuhi prinsip-prinsip syariah sangatlah penting. Di sinilah fintech syariah mengambil peran, menghadirkan solusi modern dengan tetap berlandaskan nilai-nilai Islam.
Indonesia memiliki peluang emas dalam pengembangan fintech syariah. Dengan jumlah penduduk Muslim lebih dari 242 juta jiwa, pasar potensialnya sangat luas. Selain itu, dukungan regulasi dari pemerintah dan lembaga seperti OJK dan Bank Indonesia, termasuk terbitnya fatwa DSN-MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018, memberikan pijakan hukum yang kuat untuk layanan keuangan digital berbasis syariah. Tak hanya itu, fintech syariah juga dianggap sebagai alat strategis untuk meningkatkan inklusi keuangan, terutama di wilayah terpencil yang belum tersentuh layanan perbankan konvensional.
Namun, perkembangan fintech syariah tidak lepas dari tantangan. Salah satu hambatan utama adalah rendahnya literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat. Masih banyak yang belum memahami perbedaan mendasar antara fintech syariah dan konvensional, terutama dari sisi akad dan kehalalan transaksi. Akibatnya, adopsi fintech syariah berjalan lebih lambat. Selain itu, regulasi yang belum sepenuhnya lengkap juga menjadi persoalan, terutama dalam hal perlindungan konsumen, keterbukaan akad, hingga sistem pelaporan.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan modal dan infrastruktur teknologi di kalangan pelaku fintech syariah, yang kebanyakan masih berupa startup baru. Mereka belum cukup kuat untuk bersaing dengan fintech konvensional yang lebih mapan. Selain itu, keterbatasan SDM yang menguasai dua bidang sekaligus—keuangan syariah dan teknologi informasi—membuat inovasi produk dan pengembangan platform berjalan kurang optimal.
Meski begitu, masa depan fintech syariah tetap cerah. Untuk mewujudkan potensinya, kolaborasi antara pemerintah, regulator, akademisi, lembaga pendidikan, dan pelaku industri sangat dibutuhkan. Upaya yang bisa dilakukan meliputi peningkatan edukasi publik, penyusunan regulasi yang responsif terhadap dinamika teknologi, serta dukungan pendanaan dan inkubasi untuk startup fintech syariah. Tak kalah penting, menciptakan sinergi antara fintech syariah dan lembaga keuangan syariah seperti BPRS dan koperasi syariah guna membangun ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, fintech syariah memiliki posisi strategis dalam memperluas akses layanan keuangan halal dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif di era digital. Tantangan yang ada harus dijadikan pemicu untuk terus berinovasi. Dengan sinergi antar pemangku kepentingan, industri fintech syariah Indonesia berpeluang tumbuh secara berkeadilan dan berkelanjutan.
*Penulis: Sugianto, Raihan Yuana Daud, Indra Mahfuzhi, M. Sahiduddin Efendy (Mahasiswa Manajemen Bisnis Syariah Universitas Tazkia)